Jumat, 25 Januari 2013

SASTRA SERIUS DAN BACAAN (SASTRA) POPULER

Kita sering membaca atau bahkan menulis prosa fiksi. Buku novel yang sedang booming, menjadi best seller banyak diburu orang. Barangkali kita hanya ikut-ikutan atau terpikat oleh promosi yang dilancarkan penerbit. Setelah membacanya kita dapat membuktikan apakah bacaan itu memang berbobot dan memberikan pencerahan. Atau kita menjadi kecewa sebab tidak mendapatkan apa pun dari bacaan itu, kecuali hiburan semata.  Novel-novel Marga T, Mira W, S. Mara Gd, Zara Zettira Zr, Agnes Jessica, Clara Ng atau Sydney Sheldon, Daniele Steel, Jackie Collins, J.K. Rowling, Dan Brown termasuk deretan novel laris di pasaran. Bila meghendaki bacaan yang lebih berat kita dapat mencari karya Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Nh Dini atau Leo Tolstoy, Feodor Dostoyevsky, Gustave Flaubert, Emile Zola, Alexandre Dumas, Ernest Hemingway dan Yasunari Kawabata. Bacaan mana yang anda pilih, saya percaya, itu sesuai dengan selera, minat dan kebutuhan anda.

Buku-buku pengantar kajian sastra sering membedakan prosa fiksi berdasarkan nilainya menjadi dua kategori. Pertama, fiksi bernilai sastra (quality story) dan kedua, fiksi hiburan (commercial story/craft story). Ada yang menyebut kategori pertama dengan Sastra Besar dan kategori kedua dengan sastra kecil atau sastra serius dan sastra populer. Uraian di bawah ini mencoba mengenali dan mengetengahkan karakteristik yang membedakan antara dua kategori itu. Untuk keperluan ini saya menggunakan istilah sastra serius dan bacaan (sastra) populer.

Sebenarnya pembagian jenis fiksi ke dalam dua kategori itu riskan dan problematik. Pengelompokan sebuah novel (dan cerpen) ke dalam satu kategori bisa terkesan subyektif. Novel baru yang diterbitkan oleh penerbit yang sering menerbitkan buku-buku sastra bisa jadi langsung dinilai sebagai novel bernilai sastra. Pada tahun 1970-an penerbit buku sastra yang terkenal adalah Pustaka Jaya. Kini peran itu diambil oleh penerbit Gramedia dan YOI. Padahal Gramedia juga menerbitkan buku-buku novel populer. Penulis sastra pun sering tidak selalu konsisten dalam menulis sesuai dengan “aliran”nya. Motinggo Boesye (1937-1999) pernah menulis novel-novel populer ringan seperti  Debu-Debu Kalbu, Lucy Mei Ling dan Betapa Damai Hati Kami (diangkat ke layar perak  pada tahun 1981 dengan pemain utama Gina Andriana).
Padahal sebelumnya pada era 1960-an Motinggo telah menulis cerpen, roman dan drama yang lebih berbobot sastra.

Perbedaan antara sastra serius dengan sastra populer itu sendiri kabur. Tidak jelas benar batas pemisah antara keduanya. Pencirian yang diberikan umumnya bersifat general. Ciri yang melekat pada fiksi sastra serius juga dapat kita jumpai pada fiksi populer dan sebaliknya. Cerpen dan novelet yang diterbitkan pada majalah Kartini, Sarinah, Femina dan Gadis (termasuk Story) bisa saja memiliki bobot literer yang tinggi bila ditulis oleh penulis yang “berbobot”,  tak kalah dari cerpen yang terpampang di majalah sastra Horison.

SASTRA SERIUS 

Korrie Layun Rampan (2009) menyatakan bahwa cerita sastra memperlihatkan kesungguhan penulisnya dalam menggarap persoalan. Karya sastra lahir dari kesatuan utuh antara getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan obyeknya. Penulis novel dan cerpen sastra tidak mau berkompromi dengan selera pasar/massa. Tidak masalah apabila yang ditulis itu tidak disukai atau tidak dipahami pembaca. Yang penting penulis telah mencurahkan ide dan tanggapan terhadap hidup dan kehidupan dengan tetap mempertimbangkan kualitas karya yang indah, kreatif dan orisinil.

Penulis sastra  merasa terpanggil dan memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat, Negara dan Tuhan. Gagasan yang disampaikan itu bisa berupa sindiran atau kritik sosial yang tajam. Sebagai “intelektual” mereka berani mempertanggungjawabkan karya yang diluncurkan ke masyarakatnya. Kita tahu Boris Pasternak, sastrawan Rusia yang mendapatkan Hadiah Nobel 1953 berkat novel Dokter Zhivago (diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun  1960) yang penuh kritik sosial itu dilarang menerima hadiah itu oleh penguasa Uni Soviet. Penulis Rusia lain Alexander Solzhenitzyn harus hidup dalam pengasingan demi mempertahankan idealismenya. Novel Solzhenitzyn yang termasyhur berjudul Sehari dalam Hidup Ivan Denisouwitsch (terjemah 1976). Di dalam negeri Mochtar Lubis pernah merasakan dinginnya penjara Orde Lama akibat kritik sosialnya yang kelewat tajam yang diselipkan dalam novel-novel karangannya.

Sastra serius harus sanggup memberikan serba kemungkinan dalam penceritaan dan tanggapan yang diberikan pembaca. Dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan kemauan untuk bisa mencerna bacaan sastra serius. Masalah yang disampaikan akan diungkap sampai inti hakekat kehidupan yang bersifat universal. Kita akan mendapatkan pengalaman baru yang berharga setelah membacanya. Sastra serius mengajak pembacanya merenungi dan meresapi secara mendalam pokok persoalan yang dikemukakan.

Hakekat kehidupan tetap bertahan, tidak berubah, sepanjang masa. Membaca sastra serius kita seperti menelaah secara filsafati hakekat kehidupan itu. Meskipun persoalan kemanusiaan dan kehidupan itu sama tetapi tetap menarik untuk diibicarakan kapan pun dan di mana pun. Bahkan drama, novel dan cerpen yang membawakan suara kemanusiaan universal ini bertahan lama setelah penulisnya meninggal dunia (Saya teringat pada pepatah Latin ars longa vita brevis = karya seni itu panjang umurnya sedangkan kehidupan singkat adanya). Karya-karya agung itu menjadi tonggak pemikiran besar (the Great Ideas) manusia yang mampu mengatasi sekat ruang dan waktu.

Hamlet, Romeo and Juliet, King Lear, Othelo, Machbet dan sejumlah karya William Shakespeare (1564-1616) tetap menjadi karya sastra yang menarik untuk dibaca, dikaji dan dipertunjukkan sampai kini. La Divina Commedia (Dante Allegheri, 1265-1321), , War and Peace dan Anna Karenina karya Leo Tolstoy (1817-1910), Madame Bovary (Gustave Flaubert, 1821-1880), Teresa ( Emile Zola, 1840-1902), The Snow of Killimanjaro (Ernest Hemingway, 1899-1961), Snow Country (Yasunari Kawabata, 1899-1972) dan Vol De Nuit (Antoine de St. Execupery, 1900-1944) adalah beberapa contoh karya adiluhung sastrawan dunia.

Kita juga memiliki sejumlah karya besar dari penulis besar sejak periode Balai Pustaka era 1920-an samai awal 2000-an ini. Sebut saja Belenggu (Armijn Pane, 1908-1970), Atheis (Achdiat Kartamiharja, 1911-2010), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis, 1922-2004), Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (Iwan Simatupang, 1928-1970), Burung-burung Manyar  (YB Mangunwijaya, 1929-1999), Pada Sebuah Kapal dan Namaku Hiroko (Nh Dini, lahir 1936), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG, 1951-1999),  Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari,  lahir 1945) dan Saman dan  Larung (Ayu Utami, lahir 1968) sebagai contoh karya sastra yang fenomenal yang terus kita baca sampai kini.

Cinta menjadi warna utama dalam penulisan sastra Indonesia dan dunia. Tetapi cinta tidak harus dihadirkan secara vulgar. Bisa saja cinta hanya menjadi ilustrasi untuk memperkuat daya tarik cerita. Pada novel Atheis terdapat kisah percintaan Hasan dan Kartini. Tetapi bukan cinta itu yang menjadi pokok persoalan yang diangkat penulisnya. Hubungan sosial, ketuhanan, maut, ketakutan, kecemasan, dilemma, keputusasaan, ketidakberdayaan, kemunafikan dan kebobrokan moral bisa diangkat menjadi tema pokok dalam sastra serius.

Sastra serius hendaknya tidak menggarap alur cerita dan tokoh secara stereotip yang bisa mengurangi kadar literer. Pembaca tidak dibodohi dengan model penceritaan yang itu-itu juga. Ending cerita yang dikehendaki pembaca umumnya happy end. Sastra serius tidak terbebani oleh tuntutan untuk menyudahi cerita dengan kepastian yang menyenangkan.
Sastra serius terus ada dan tidak perlu cemas meskipun pembacanya sedikit. Yang terpenting adalah minat dan apresiasi pembaca berbobot. Sebab bobot kualitasnya yang memenuhi standar estetika yang tinggi karya-karya sastra serius diajarkan di sekolah dan menjadi bahan kajian pembelajaran sastra.

Apabila anda ingin menjadi penulis terkenal sepanjang masa ada baiknya anda memilih kategori penulisan sastra serius ini. Anda berpotensi untuk mengikuti jejak sejumlah nama yang saya sebutkan di atas.

BACAAN (SASTRA) POPULER

Anda suka membaca novel Marga T, V. Lestari atau Maria A. Sardjono? Bisa jadi anda sedang menekuni kategori bacaan (sastra) populer. Saya  tuliskan sastra dalam kurung untuk menyatakan keraguan apakah bacaan itu termasuk kategori sastra. Kejam juga mempertanyakan sesuatu yang tidak begitu jelas batasannya.

Fiksi populer (pop) dapat dianggap sebagai penerus dari tradisi roman picisan yang muncul pada akhir abad 19 yang menggunakan media berbahasa Melayu Cina. Pada 1885 muncul novel Lie Kim Hok (Sobat Anak-anak), disusul dengan Tjit Liap Seng (1890) dan F. Wigger dengan Nyai Isa dan HFR Kommer dengan Nona Leoni. Bacaan populer terus tumbuh tanpa mengenal krisis meskipun zaman berubah dan rezim penguasa berganti. Pada 1967 Motinggo Boesye muncul dengan karya-karya yang menampilkan kehidupan golongan menengah atas elite Jakarta (yang bergaya hedonis). A. Teeuw menyebut Boesye sebagai sang gembong tanpa mahkota yang berjaya pada tahun 1967-1970.

Gerakan fiksi populer yang baru muncul pada 1973 dipelopori Marga T. melalui cerbung Karmila yang muncul pada harian Kompas. Cerbung itu kemudian diterbitkan menjadi novel dengan judul Karmila dan langsung merebut hati publik pembaca Indonesia. Gebrakan Marga T seperti “revolusi” kecil dalam dunia penulisan Indonesia. Novel Marga T berikutnya Badai Pasti Berlalu (1974) dan Gema Sebuah Hati (1976). Ashadi Siregar menyusul dengan novel pop Cintaku di Kampus Biru (1974), Kugapai Cintamu (1974) dan Terminal Cinta Terakhir (1975).

 Marga T dan Ashadi Siregar membuka babak baru penulisan novel populer Indonesia menyangkut bentuk isi. Sebelumnya novel populer cenderung dangkal, pendek, menggeneralisir dan kerap dibumbui seks. Setelah era Marga T novel pop tampil lebih utuh, cukup panjang, dengan bahasa yang baik dan menunjukkan pandangan hidup kaum terpelajar.  Setelah kedua pelopor itu itu banyak penulis baru aliran pop bermunculan. Sebut saja Titie Said, La Rose, Nina Pane, Yati Maryati Wiharja, Darto Singo,  Abdullah Harahap, Ris Prasetyo dan Sari Narulita. Pada era 1970-an itu setelah krisis multidimensi 1950-1960-an masyarakat butuh rehabilitasi mental melalui bacaan yang menghibur. Meningkatnya populasi perkotaan, membaiknya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat juga menumbuhkan kebutuhan akan bacaan yang menghibur itu.

Belakangan pada tahun 1990-an muncul lagi jenis bacaan populer yang disebut teenlit dan chicklit. Teenlit semacam bacaan untuk remaja modern dengan bahasa ringan dan khas remaja. Tokoh yang ditampilkan umumnya remaja puteri berusia belasan tahun. Dua novel teenlit yang cukup berhasil dan difilmkan adalah Eifel I’m in Love  karya Rachmania Arunita (2003) dan Dealova karya Dyan Nuranindya (2005). Chicklit/chick literature menampilkan perempuan muda protagonist, lajang dan mandiri, sukses dalam karier, tetapi mungkin bermasalah dengan kehidupan cintanya. Ada lagi momlit yang menampilkan kehidupan ibu-ibu di perkotaan. Jenis bacaan momlit tidak berkembang.  Bacaan populer untuk remaja pernah dikibarkan oleh majalah Hai, Gadis dan Anita Cemerlang (1978-1992). Perlu disampaikan bahwa beberapa penulis di Anita Cemerlang itu telah menjadi penulis dan jurnalis yang mumpuni di bidangnya. Sebut saja Kurniawan Junaedhie, Kurnia Effendi (KEF), Gus tf Sakai, Nestor Rico Tambunan, Gola Gong, Leila Chudori dan Zara Zettira ZR.

Saat ini juga banyak beredar bacaan novel religius yang juga masuk dalam ranah bacaan populer. Belum ada pengamat dan kritikus sastra yang memasukkan Ayat-ayat Cinta, Dalam Mihrab Cinta, Sang Pencerah, Negeri Lima Menara  atau Laskar Pelangi  (bacaan petualangan) dalam golongan sastra serius. Mereka tetap bertahan dengan pilihan aliran dan selera penulisannya yang mengedepankan moralitas religi tertentu.  Akibatnya banyak orang yang meniru-niru dengan mengabaikan orisinalitas, sehingga berkesan latah dan aji mumpung. (Mengapa karya mereka yang mengusung pesan-pesan religi itu tidak masuk hitungan sastra serius sebagaimana karya Hamka (1908-1980) dengan Di Bawah Lindungan Kaabah (1938), Ali Hasymy dan Bahrum Rangkuti ?)

Disebut bacaan populer sebab buku itu disusun dengan mempertimbangkan selera populer atau pasar . (populer = penduduk, masyarakat kebanyakan). Ukuran kuantitas menjadi tolok utama untuk mengukur keberhasilan pemasaran buku itu. Booming dan menjadi best seller menjadi target utama penjualan buku. (Anehnya ada buku yang baru cetak pertama kali sudah diberi label best seller) Karya seni menjadi barang dagangan yag tunduk pada semangat kapitalisme yang mementingkan komersialisme.

Bacaan populer umumnya populer pada masanya dan digemari banyak orang, terutama generasi muda. Tema yang aktual seputar romantika cinta, petualangan , misteri, horor, fantasia dan  religi menarik orang untuk menikmatinya. Bacaan sering berkaitan atau berinteraksi dengan media televise, film, sinetron, koran dan majalah. Bacaan yang populer dan merebut perhatian orang lalu diangkat ke layar kaca atau layar perak. Keduanya akan saling menunjang pertumbuhannya, sama-sama saling membutuhkan.

Menurut pengamat bacaan populer hanya mengangkat persoalan kehidupan di tingkat permukaan. Bacaan populer tidak mampu menampilkan permasalahan kehidupan dengan lebih intens, tidak berusaha untuk meresapi hakekat kehidupan. Apabila dia melakukan ini maka bacaan menjadi berat dan serius. Boleh jadi lalu dia akan ditinggalkan pembacanya. Sebab sifatnya artifisial dan sementara (temporer), bacaan populer cepat ketinggalan zaman. Kita tidak terangsang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya dia cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer (dan  ngetrend) pada masa sesudahnya. (Nurgiyantoro, 2010: 18)

Membaca novel-novel laris Eddie D. Iskandar atau Ashadi Siregar yang bersetting tahun 1970-an bisa jadi kita merasa asing dengan suasana masa itu. Anehnya kita merasa nyaman membaca novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis yang bersetting tahun 1950-an. Setting ruang dan waktu hanya menjadi sarana penggambaran cerita sedangkan pesan dan tema yang diangkat lebih lestari dan universal.

Stanton (1965) mengatakan bahwa bacaan populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dipahami. Penulis bacaan populer hanya menyampaikan jalan cerita semata. Dia tidak berpretensi untuk mengejar efek estetika. Dia hanya memberikan hiburan langsung dalam alur cerita yang digarapnya. Masalah yang diangkat ringan-ringan saja, tetapi aktual dan menarik. Yang terlihat hanya pada masalah yang “itu-itu” saja. Cinta asmara dengan model kehidupan yang berbau mewah (glamour, metropolis), kisah percintaan romantis antara pria tampan dan wanita cantik, perselingkuhan, rebutan harta warisan memang menarik mirip tema opera sabun Amerika, telenovela atau melodrama Korea. Wanita dan remaja yang paling peka dan terbuka menjadi sasaran tembak bacaan itu. Sejenak mereka dapat melupakan kepahitan hidup yang dialaminya.

Kalau ada kisah yang menyedihkan orang miskin yang berjuang mengatasi permasalahan hidupnya sampai mencapai kesuksesan dikatakan sebagai cerita inspiratif. Kalau ada kisah religi mengenai pertobatan sudah cukup menenangkan pembaca yang memang mengharapkan ending bahagia itu.

Cerita mudah dipahami (mungkin juga mudah ditebak ending ceritanya), alur lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang. Tokoh-tokoh tunduk pada kemauan pengarang yang menciptakannya. Tujuan keseluruhan bangunan fiksi populer itu memang untuk memuaskan pembaca. Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa tokoh yang diciptakan itu adalah tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal sampai akhir cerita. Sejak awal tokoh diberikan atribut lengkap. Plot, tema, karakter, latar dan pesan bersifat stereotip. Tidak diutamakan adanya pembaruan. Pembaca tinggal menemukan kembali yang telah mereka kenali atau mereka miliki sebelumnya.

Jakob Sumardjo (dalam Rampan, 2009: 13-14) merumuskan enam ciri fiksi populer yang disebut kitsch itu sebagai berikut :
  1. Tema umumnya berkisar cinta asmara, tanpa upaya menyodorkan persoalan yang lebih serius dan kompleks. (Cinta ditampilkan secara vulgar tanpa perlu penafsiran lebih lanjut, pen)
  2. Penekanan kisah hanya pada plot, dengan mengabaikan perwatakan, masalah kehidupan dan elemen cerita lainnya.
  3. Gayanya emosional, cerita disusun dengan tujuan memancing keharuan, yang mampu diungkapkan hanya bagian permukaan saja dari kehidupan luas ini.
  4. Masalah atau problem yang disampaikan bersifat artifisial, tidak nyata, dibuat-buat, hanya mungkin terjadi di dalam cerita, tidak di alam nyata, di dalam kehidupan yang sebenarnya.
  5. Pengarang fiksi hiburan tunduk pada konvensi, tidak dibutuhkan pembaruan atau eksperimentasi. Jika hal itu dilakukan pengarang, maka karyanya akan ditinggal pembacanya.
  6. Bahasa selalu aktual, disesuaikan dengan bahasa muda-mudi yang hidup di zaman itu, sehingga bersifat kontemporer, temporer, seperti masuknya bahasa prokem. (bahasa gaul, pen)

PENUTUP
Menjadi jelas atau semakin kabur dengan pembagian prosa fiksi menjadi sastra serius dan bacaan (sastra) populer itu? Atau mungkin anda termasuk orang yang tidak menghiraukan dikotomi “semu” itu? Membaca atau menulis apa saja yang dikehendaki asalkan bagus dan dapat memberikan nilai tambah bagi  anda dan orang lain? Itu adalah hak anda.

Sleman Sembada, September 2012

DAFTAR BACAAN
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.
Korrie Layun Rampan, Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir, Bukupop, Jakarta, 2009.
Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi, Gama Media, Yogyakarta, 2000.
Soegiarto, Secercah Tokoh dan Karya Sastra, PT Intan, Klaten, 1984.
Yoga Cahyadhi, Fenomena Novel Populer dan Perkembangannya di Indonesia, artikel diunduh dari internet pada 28 Agustus 2012 jam 10:10.